METODE FILSAFAT


Metode Filsafat yang dapat digunakan sebagai pijakan dalam berfilsafat
GAMAL THABRONI ✍️


Metode Kritis

Plato dan Sokrates adalah filosof (filsuf/philosopher) yang menggunakan dan mengembangkan metode ini. Metode kritis bersifat analisa istilah dan pendapat, kemudian disistematiskan dalam hermeneutika (interpretasi asas-asas metodologis) yang menjelaskan keyakinan dan berbagai pertentangannya.

Caranya adalah dengan bertanya, membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak suatu keyakinan. Dengan begitu, akhirnya akan ditemukan keyakinan yang terbaik di antaranya. Keyakinan atau filsafat terbaik inilah yang dikatakan hakikat sesuatu yang lebih baik.


Metode Filsafat Intuitif

Metode yang dikembangkan oleh Bergson dan Plotinus ini sering dikatakan tidak bertumpu pada intelek dan rasionalisasi manusia, tetapi tidak bersifat anti-intelektual. Manusia terkadang harus mengambil jarak dan berjauhan dengan logika, serta menyerahkan diri pada kemurnian kenyataan dan keaslian fitrah manusia.

Bukan berarti pula bahwa logika harus dibungkam dan rasio ditinggalkan. Tetapi metode ini mengajak kita berpikir dalam semangat untuk bisa menganalisis suatu keyakinan tanpa terjerat oleh rasio dan logika. Agak sulit untuk dibayangkan namun akan mengalir ketika dicoba untuk dilakukan.

Metode ini dapat membongkar sesuatu yang selama ini tidak tampak di permukaan. Analoginya, saat kita memikirkan mengenai esensi yang didapat dari suatu permainan judi, maka kita akan melihat objek dari permainan tersebut bukan? yakni hadiahnya yang begitu besar. Padahal, sejatinya yang menyebabkan permainan itu adiktif adalah rasa penasaran ketika kalah dan rasa puas ketika menang.

Jika kita hanya melihatnya secara objektif, maka kita tidak akan mampu melihat bahwa “objek” sebenarnya dari judi adalah perasaan manusia. Menang atau kalah, subjektivitas kitalah yang dipermainkan dan selalu berujung dalam kekalahan.


Metode Skolastik

Metode ini berkembang pada Abad Pertengahan. Thomas Aquinas (1225-1247) merupakan salah satu penganjurnya. Pada masa Klasik, Aristoteles juga dikatakan sebagai pengguna metode  ini. Sesuai dengan namanya, metode skolastik menunjukkan kaitan yang erat dengan metode mengajar.

Seseorang (biasanya seorang guru/senior) akan membacakan atau mengutarakan suatu pokok bahasan filsafat. Kemudian pokok bahasan tersebut akan diberi penafsiran dan komentar oleh filsuf lain. Agar topik dipahami, semua istilah, ide dan kenyataan dirumuskan, dibedakan dan diuji dari segala sisi.

Segala pro dan kontra kemudian dihimpun dan dibandingkan. Melalui proses ini, yang disebut “lectio” diharapkan tercapai suatu pemahaman baru yang lebih baik. Namun, jika tidak berhasil, maka akan dilanjutkan ke tahap “disputatio” atau perdebatan.


Metode Filsafat Matematis

Descartes menyebut metode ini dengan sebutan “metode analistis”. Menurut Descartes ada keteraturan dan ketersusunan alami dalam kenyataan yang berhubungan dengan pengertian manusia. Ketersusunan alam ini dapat diungkapkan dengan cara penemuan (via inventionis).

Penemuan itu ditemukan dengan cara melakukan empiris rasional, atau mencari hal nyata yang telah dialami oleh seseorang. Metode ini mengintegrasikan segala kelebihan logika, analisa geometris dan aljabar serta menghindari kelemahannya.


Metode Empiris-Eksperimental

Para penganut empiris sangat dipengaruhi oleh sistem dan metode Descartes, terutama dalam menekankan data kesadaran dan pengalaman individual yang tidak dapat diragukan lagi. Bagi mereka, pengalaman (empeiria) adalah sumber pengetahuan yang lebih dipercaya ketimbang rasio.

David Hume (1711-1776) adalah penyusun filsafat Empirisme ini dan menjadi antitesa terhadap Rasionalisme. Perbedaan utama metode ini dari metode dekrates adalah metode ini juga membutuhkan eksperimen yang ketat guna mendapatkan bukti kebenaran empiris yang sejati.

Metode ini adalah metode yang hingga kini banyak dilakukan untuk mendalami ilmu pengetahuan. Hal tersebut karena ilmu pengetahuan tidak cukup untuk digeluti oleh logika dan rasio saja. Kita harus melakukan eksperimen sehingga mampu membuktikannya secara empiris yang berarti teralami, terlihat, nyata, tervalidasi oleh data, bukan asumsi atau spekulasi.


Metode Transendental

Metode ini juga sering disebut dengan metode neo-skolastik. Immanuel Kant (1724-1804) merupakan pelopor metode ini. Pemikiran Kant merupakan titik-tolak periode baru bagi filsafat Barat. Ia mendamaikan dua aliran yang berseberangan: rasionalisme dan empirisme.

Dari satu sisi, ia mempertahankan objektivitas, univesalitas dan keniscayaan suatu pengertian. Di sisi lain, ia juga menerima pendapat bahwa pengertian berasal dari fenomena yang tidak dapat melampaui batas-batasnya.

Kant menempatkan kebenaran bukan pada konsep tunggal, tetapi dalam pernyataan dan kesimpulan lengkap. Ia membedakan dua jenis pengertian:

Pengertian analistis, yakni pengertian  yang selalu bersifat apriori, misalnya dalam ilmu pasti;

Pengertian sintesis, pengertian ini dibagi menjadi dua yakni: aposteriori singular yang dasar kebenarannya pengalaman subjektif seperti ungkapan “Saya merasa panas”, dan apriori yang merupakan pengertian universal dan pasti seperti ungkapan “Suhu udara hari ini panasnya mencapai 34 derajat celcius”.

Intinya, metode ini menerima nilai objektif ilmu-ilmu positif, sebab terbukti telah menghasilkan kemajuan hidup sehari-hari. Ia juga menerima nilai subjektif agama dan moral sebab memberikan kemajuan dan kebahagiaan.

Dengan catatan syarat paling minimal yang mutlak harus dipenuhi dalam subjek supaya objektifitasnya memungkinan. Seperti efek placebo obat yang sebetulnya tidak dapat menyembuhkan, namun membuat seseorang percaya ia akan sembuh karena telah meminumnya.

Di dalam pengertian dan penilaian metode ini terjadi kesatuan antara subjek dan objek, kesatuan antara semua bentuk. Hal ini menuntut adanya kesatuan kesadaran yang disebut “transcendental unity of apperception”


Metode Dialektis

Tokoh terkenal metode ini adalah Hegel, hingga terkadang metode ini disebut dengan ‘Hegelian Method’. Nama lengkapnya adalah George Willhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Langkah awal metode ini ialah pengiyaan dengan mengambil konsep atau pengertian yang lazim diterima dan jelas.

Kemudian membuat suatu anti tesis atau bantahan dari konsep atau pengertian yang lazim tersebut. Setelah itu diambil kesimpulan dari keduanya dan dibentuklah suatu sintesis dari keduanya. Pada akhirnya sintesis tersebut akan menemui anti tesis lainnya, untuk kemudian disintesiskan kembali untuk mendapatkan hakikat yang lebih baik lagi.


Metode Fenomenologis

Fenomena yang dimaksud disini bukanlah fenomena alamiah yang dapat dicerap dengan observasi empiris seperti fenomena alam. Fenomena disini merupakan makna aslinya yang berasal dari bahasa Yunani: phainomai, artinya adalah “yang terlihat”. Jadi fenomena adalah data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Metode fenomenologi dilakukan dengan melakukan tiga reduksi (ephoc) terhadap objek, yaitu:

Mereduksi suatu objek formal dari berbagai hal tambahan yang tidak substansial.

Mereduksi objek dengan menyisihkan unsur-unsur subjektif seperti perasaan, keinginan dan pandangan. Pencarian objek murni tersebut disebut dengan reduksi eidetis.

Reduksi ketiga bukan lagi mengenai objek atau fenomena, tetapi merupakan wende zum subjekt (mengarah ke subjek), dan mengenai terjadinya penampakan diri sendiri. Dasar-dasar dalam kesadaran yang membentuk suatu subjek disisihkan

Intinya metode ini melihat sesuatu dengan objektif tanpa melihat sisi subjektifnya seperti kepentingan, perasaan, atau tekanan sosial. Bayangkan bagaimana rasa penasaran seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa ketika menemukan hal baru. Ia akan mengobservasinya dan melakukan apapun untuk secara tidak sadar mempelajari dan mengenalnya, termasuk meremas dan menendang kucing liar yang ia temukan di halaman belakang rumah. Metode ini dipopulerkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).


Metode Filsafat Eksistensialisme

Tokoh-tokoh terkemuka Eksistensialisme adalah Heidegger, Sartre, Jaspers, Marcel dan Merleau-Point. Para tokoh eksistensialis tidak menyetujui tekanan Husserl pada sikap objektif. Bagi kalangan eksistensialis, subjektifitas manusialah yang pertama-tama dianalisa.

Karena bisa jadi sebetulnya sesuatu yang dianggap “ada” (exist) itu tidak dapat “mengada” tanpa ada konteks pembentuk disekitarnya: perasaan manusia, interaktivitas individu dalam suatu kelompok dan kepentingan tertentu. 

Beberapa sifat eksistensialis ialah:

Subjektivitas individualis yang unik, bukan objek dan bukan umum.

Keterbukaan terhadap manusia dan dunia lain: internasionalitas dan praksis bukan teori saja.

Pengalaman afektif dalam hubungan dengan dunia, bukan observasi.

Kesejarahan dan kebebasan, bukan essensi yang tetap.

Segi tragis dan kegagalan.

Pada dasarnya dalam analisa eksistensi itu, de facto mereka memakai fenomenologi yang otentik, dengan observasi dan analisa teliti.

Setiap ungkapan, baik awam maupun ilmiah, berakar pada suatu pengalaman langsung yang bersifat pra-reflektif dan pra-ilmiah. Melalui analisa ungkapan pengalaman terbatas itulah, justru dapat ditemukan kembali pengalaman yang lebih fundamental.


Metode Analitika Bahasa

Wittgenstein adalah tokoh dominan dalam metode ini. Ia mempelajari filsafat dengan alasan yang kemungkinan sama dengan kebanyakan orang. Ia penasaran dengan filsafat yang begitu membingungkan. Setelah melakukan penelitian, ia menemukan bahwa kebingungan ini banyak disebabkan oleh bahasa filosofis yang rancu dan kacau.

Bagaimana seseorang bisa mengetahui benar salahnya suatu pendapat, sebelum ia mampu memastikan bahwa bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pertanyaan, pernyataan dan perbincangan itu adalah benar?

“Arti” bukanlah sesuatu yang berada “di belakang” bahasa; tidak ada arti “pokok”. Arti kata tergantung dari pemakaiannya, makna timbul dari penggunaan. Arti kata itu seluruhnya tergantung dari permainan bahasa (language games) yang sedang dimainkan.

Metode ini meneliti dan membedakan permainan-permainan bahasa itu untuk mendapatkan keyakinan yang lebih baik. Juga menetapkan peraturan masing-masing bahasa agar tidak terjadi kekeliruan logis dan kesalahpahaman yang disebabkan oleh kerancuan makna kata.


Referensi

Lubis, Nur A. Fadhil. (2015). Pengantar Filsafat Umum. Medan: Perdana Publishing. Tautan Informasi Buku