Pendidikan Filsafat untuk Anak ?


Pendasaran, Penerapan dan Refleksi Kritis untuk Konteks Indonesia
Reza A.A Wattimena ✍️

Mungkinkah filsafat diajarkan untuk anak pada tingkat sekolah dasar?

Anak-anak, pada dasarnya, adalah filsuf alamiah. Artinya, mereka selalu menjadi seorang filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah jelas bagi orang dewasa. Seringkali, anak-anak menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur politis, metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan pemahaman tentang sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam. Anak-anak sudah memiliki semacam intuisi filosofis yang sudah ada secara alamiah di dalam dirinya. Berbagai penelitian, seperti dikutip oleh Maughn Gregory, menyatakan, bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar. 

Di Jerman, program “anak-anak berfilsafat” (Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade 1960-an. Metode yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni perumusan pertanyaan yang dibuat bersama-sama dengan anak (1), berdiskusi bersama anak, guna menjawab pertanyaan ini (2), melihat beberapa kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka (3) dan mencoba menggali pertanyaan lebih jauh dari jawaban yang telah ada (4).

Metode tersebut harus juga memiliki roh. Ada dua roh yang ditawarkan di dalam filsafat untuk anak ini, yakni roh kesetaraan dan roh keterbukaan. Artinya, hubungan antara guru dan murid di dalam kelas haruslah merupakan hubungan kesetaraan. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Keduanya adalah partner untuk berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Yang kedua adalah keterbukaan. Setiap pertanyaan adalah sah. Setiap jawaban dilihat sebagai kemungkinan. Tidak ada yang mutlak. Semuanya adalah proses yang menuju pada hasil yang bisa dipertanyakan lagi kemudian. Roh kesetaraan dan keterbukaan akan membuat suasana menjadi tenang dan menyenangkan. Pikiran pun bisa berkembang di dalam dialog dengan orang lain. Pola ini tidak hanya menyentuh bagian intelektual anak, tetapi juga sikap hidupnya yang nantinya juga akan mengedepankan kesetaraan dan keterbukaan. Dua keutamaan ini amat penting untuk kehidupan.

Dimana peran orang dewasa di dalam proses ini ?

Orang dewasa disini, menurut Gregory, berperan sebagai fasilitator sekaligus pengatur lalu lintas dari pertanyaan dan diskusi. Orang ini harus mencintai dunia pemikiran. Ia harus sadar, bahwa ia tidak tahu segalanya. Ia melihat dirinya sebagai pencari yang bekerja sama dengan anak-anak, guna menemukan sudut pandang baru atas pertanyaan-pertanyaan lama. Ia menjadi “contoh” dari bagaimana orang harus berfilsafat itu sendiri. Ia memberikan contoh, bagaimana mengajukan pertanyaan yang baik. Ia juga menjadi contoh, bagaimana mengajukan jawaban-jawaban yang bersifat terbuka, yang merangsang pertanyaan berikutnya. Ia mengajarkan, bagaimana merumuskan sudut pandang baru atas masalah-masalah lama. Ia memberikan kritik dan saran, tanpa bersifat menjatuhkan atau menghina. Ia juga mampu menghubungkan berbagai aliran ide yang ada, sehingga diskusi tidak berujung pada kebingungan. Ia menantang jawaban-jawaban dangkal yang memberikan kepastian mutlak atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Ia sendiri juga bersikap kritis pada pendapat-pendapatnya sendiri.

Sang “fasilitator filosofis” ini juga mampu menggoyang pemahaman-pemahaman lama yang ada dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kemapanan. Ia juga tidak menilai, apakah suatu pendapat salah atau benar. Ia hanya mempertanyakan segala pendapat yang muncul di dalam diskusi dengan anak. Ia melihat anak sebagai manusia yang bermartabat, yang layak untuk didengarkan dan ditanggapi secara seksama. Ia juga mampu menggali unsur-unsur filosofis dari pendapat yang muncul. Yang diharapkan adalah, supaya anak memahami pola berpikir filosofis yang dicontohkan, dan menjadikan pola ini sebagai bagian dari diri mereka. Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa “fasilitator filosofis” ini haruslah sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang memiliki visi yang sama tentang kaitan antara filsafat dan pendidikan. Program “anak-anak berfilsafat” ini haruslah juga memiliki struktur, misalnya dilakukan oleh satu tim yang sama seminggu sekali. Dibutuhkan kerja sama antara pihak sekolah dan pihak yang menawarkan program ini. Di Jerman, beberapa institut memberikan pelatihan resmi dengan sertifikat resmi untuk para fasilitator dari program ini, guna menjaga mutu dari proses yang ditawarkan.

Pengalaman di Jerman, sebagaimana dituturkan Gregory, menunjukkan, bahwa perjumpaan seminggu sekali dalam program filsafat untuk anak tidaklah cukup. Di beberapa sekolah, misalnya, ditawarkan program filsafat untuk anak yang dilakukan setelah pulang sekolah. Mereka menyebutnya sebagai “klub filsafat” (Philo-sophie-Clubs). Program ini banyak membantu anak-anak yang merasa tertinggal dalam pelajaran di kelas. Mereka bisa mengajukan pertanyaan dan menemukan sudut pandang berbeda melalui diskusi-diskusi yang dilaksanakan. Tentu saja, program semacam ini tidaklah cukup. Orang tua haruslah juga mampu merangsang pikiran anak melalui percakapan-percakapan bermutu setiap harinya. Melalui diskusi-diskusi filsafat yang bermutu, anak juga diajak untuk melampaui identitas sempitnya, dan mencoba melihat dunia dari sudut pandang orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda. Pemahaman antar budaya, antar agama dan antar kelas sosial juga bisa tercipta melalui program “anak-anak berfilsafat” ini. Di dalam proses diskusi semacam ini, pemahaman agama juga dimurnikan melalui akal sehat dan empati terhadap kelompok lain. Pola ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melampaui fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari segala bentuk terorisme.

Di balik itu semua, kita bisa melihat, bahwa program ini adalah bagian dari pendidikan nilai-nilai (Wertebildung) untuk kehidupan. Dalam arti ini, nilai bukan berarti nilai baik buruk seturut dengan agama atau tradisi tertentu, melainkan kemampuan untuk secara masuk akal dan bebas menentukan apa yang akan dilakukan pada sebuah keadaan tertentu yang bersifat partikular. Dalam konteks masyarakat demokratis, seperti Indonesia dan Jerman, tidak ada satu nilai homogen. Yang ada bukanlah “Nilai” dengan N besar, melainkan “nilai-nilai”. Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki beragam kultur dengan beragam pandangan hidup serta nilai-nilai di dalamnya. Keadaan ini memiliki setidaknya dua sisi. Di satu sisi, orang menemukan jalan yang damai untuk mencapai kebahagiaan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Di sisi lain, orang dengan mudah terjatuh ke dalam relativisme, dimana tidak ada lagi yang benar dan yang salah. Semua boleh dilakukan, asal sejalan dengan keinginan dan kebutuhan pribadi. Di keadaan semacam ini, masyarakat sulit untuk menemukan ikatan sosial yang menjadi dasar untuk solidaritas dan kesejahteraan bersama.

Relativisme adalah penolakan ekstrem terhadap kekakuan aturan dan moral yang sudah ada sebelumnya. Namun, relativisme jelas memiliki masalahnya sendiri. Apapun yang ekstrem selalu melahirkan masalah. Oleh karena itu, apapun bentuknya, ekstremisme sedapat mungkin dihindari. Dalam konteks ini, relativisme yang lahir dari proses berfilsafat haruslah disadari dan kemudian dibatasi. Ketika ia dibatasi, yang muncul adalah paham pluralisme, bahwa ada banyak tolok ukur nilai yang bisa digunakan, namun nilai-nilai tersebut tetap berlaku dalam konteksnya masing-masing. Kata “konteks” menjadi sangat penting disini. Pemahaman yang jeli tentang konteks yang ada melahirkan ketepatan dalam menilai dan bertindak. Ini amat penting di dalam masyarakat plural yang memiliki tolok ukur nilai berbeda-beda. Dalam arti ini, menurut Höffling, filsafat berperan sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Ia berdiri sekaligus menjembatani dua kutub. Kutub pertama adalah indoktrinasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai agama dan tradisi yang dipaksakan, tanpa sikap kritis. Kutub yang kedua adalah relativisme, dimana tidak ada tolok ukur nilai yang dipegang bersama, sehingga semuanya boleh dilakukan, termasuk hal-hal yang merugikan orang lain.


Pendidikan Nilai

Sebagai bagian dari pendidikan nilai, menurut Zeitler, banyak orang meragukan peran filsafat untuk perkembangan pemikiran dan nilai-nilai hidup anak.

Filsafat memang dikenal sebagai pengetahuan yang abstrak dan kering, yang kerap kali tidak memiliki hubungan langsung dengan kehidupan manusia. Sulit membayangkan, bahwa pemahaman semacam ini memiliki peran di dalam pendidikan nilai anak-anak. Bahkan, para professor filsafat di berbagai perguruan tinggi, baik di Jerman maupun AS (mungkin juga di Indonesia?), juga memiliki pendapat serupa. Dasar argumennya adalah, bahwa anak-anak belum memiliki kemampuan berpikir yang cukup untuk mengembangkan pendapat dan membangun penjelasan yang seringkali bersifat abstrak. Mereka juga dianggap belum mampu menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri, guna mengembangkan sikap kritis terhadap dirinya sendiri. 


Apakah pendapat ini bisa dibenarkan ?

Zeitler berusaha menanggapi pendapat tersebut. Di dalam penelitian yang ia lakukan, ia menemukan, bahwa anak-anak memiliki kemampuan untuk mengajukan pendapat dan berpikir kritis. Dua kemampuan ini amat penting di dalam proses berfilsafat. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang amat besar, yang amat berguna untuk menggali pemahaman lebih dalam tentang suatu hal. Berpijak pada rasa ingin tahu itu, mereka lalu bertanya, mengajukan kemungkinan jawaban, lalu membongkar jawaban tersebut dengan pertanyaan lebih jauh. Proses diskusi filsafat bisa mempertajam rasa ingin tahu tersebut dan meningkatkan kemampuan untuk menggali pemahaman melalui tanya jawab yang berlangsung secara terbuka. Hasilnya adalah keterbukaan pikiran dan kesadaran diri di dalam berhadapan dengan dunia yang semakin rumit. Dengan dua kemampuan ini, anak diajak untuk belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan berpijak pada apa yang terjadi di dalam hidupnya. Ia tidak diperbudak oleh cara berpikir dogmatis atau relativisme.

Program filsafat untuk anak-anak, dengan demikian, berdiri di atas dua tegangan, yakni ketidakpercayaan masyarakat luas pada kemampuan filsafat untuk mengembangkan pemikiran anak-anak, dan penelitian-penelitian yang membuktikan, bahwa anak-anak sudah memiliki kemampuan yang mencukupi untuk berpikir filosofis. Zeitler berpendapat, bahwa filsafat tidak hanya bisa menjadi materi pendidikan anak, tetapi juga bisa menjadi prinsip dasar pendidikan yang baru untuk anak-anak. Dengan metode ini, anak diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran reflektif akan dirinya sendiri sejak dini. Ia juga akan memiliki keterbukaan berpikir di dalam melihat dunia, serta membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Semua kemampuan ini amat penting untuk bisa hidup dan berkembang di dalam masyarakat plural dan demokratis, seperti di banyak negara sekarang ini, seperti Indonesia.

Di dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia, ada beragam pandangan hidup yang berkembang. Semuanya saling berhubungan satu sama lain. Keterbukaan berpikir adalah salah satu nilai hidup yang penting untuk dimiliki. Keadaan ini membuat hidup menjadi semakin kompleks. Orang tidak bisa lagi begitu saja menyatakan, bahwa pandangan hidupnya lebih baik dan lebih benar dari pandangan hidup lainnya. Dialog yang berpijak pada keterbukaan berpikir menjadi hal yang perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Di sisi lain, orang hidup dengan jutaan informasi yang ia terima melalui berbagai media setiap harinya. Kondisi ini diebut Zeitler sebagai “masyarakat banjir informasi” (Informationsflutsgesellschaft). Berbagai tayangan media mengajarkan satu hal kepada banyak orang, bahwa di dalam hidup, ia perlu untuk terus membeli barang-barang yang baru, supaya bisa bahagia. Di dalam keadaan semacam ini, orang sulit untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif atas hidupnya. Ia terbenam untuk bekerja, supaya bisa membeli lebih banyak barang lagi, tanpa henti. Pada titik ini, yakni di dunia yang semakin plural dalam hal tata nilai serta serbuan konsumtivisme dari berbagai penjuru media yang mendangkalkan kemampuan berpikir orang, apa kiranya yang bisa disumbangkan filsafat, terutama untuk pengembangan cara berpikir anak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Zeitler, kita perlu untuk menegaskan terlebih dahulu arti sesungguhnya dari filsafat. Pada titik ini, filsafat dapat dipahami dengan dua cara. Yang pertama adalah melihat filsafat sebagai cara pandang tertentu atas dunia. Ia menghasilkan teori untuk menjelaskan dan memahami dunia tempat kita tinggal. Yang kedua adalah melihat filsafat tidak sebagai teori untuk menjelaskan dunia, tetapi sebagai cara hidup, yakni cara hidup yang mengedepankan pemikiran kritis dan reflektif atas segala hal di dalam dunia. Walaupun memiliki rumusan yang berbeda, keduanya memiliki akar yang sama, yakni rasa kagum dan rasa ingin tahu atas segala yang ada di dunia. Dua hal itulah yang menjadi energi dari filsafat. “Berfilsafat,” demikian tulis Zeitler, “dimulai dengan definisi dasar yakni kemampuan manusia untuk merasa kagum dan heran atas dunia dan segala pertanyaan terkait dengan makna, pendasaran dan lanjutannya.”

Dengan kata lain, yang mendorong lahirnya filsafat tidak hanya rasa kagum dan ingin tahu semata, tetapi juga kemampuan untuk bernalar dan memberikan pendasaran atas apa yang dikatakan. Kemampuan untuk memberikan pendasaran inilah yang menjadi ciri khas filsafat, yang membedakannya dengan agama dan mistik. Dari gabungan antara rasa kagum, rasa ingin tahu dan kemampuan bernalar untuk memberikan pendasaran atas pemikiran ini, filsafat lalu lahir, berkembang dan mendorong lahirnya beragam ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini.

Yang sudah pasti, anak-anak memiliki rasa kagum dan ingin tahu yang besar atas segala hal yang ada di dunia. Mereka memiliki rasa heran yang besar, yang mendorong mereka untuk menyentuh segala hal yang ada di sekitar mereka. Dengan kata lain, bakat berfilsafat adalah bakat alamiah yang dimiliki setiap anak, tanpa kecuali. Secara alamiah, anak juga memiliki kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan justru merupakan roh dari filsafat dan ilmu pengetahuan. Pertanyaan adalah energi pendorong penelitian dan refleksi filosofis. Dalam arti ini, proyek anak-anak berfilsafat (Kinder Philosophieren) juga dapat dipahami sebagai usaha bersama untuk menjawab satu pertanyaan secara kritis, rasional dan reflektif. Tidak ada jawaban pasti yang sudah diberikan sebelumnya. Tidak ada jawaban final yang tidak bisa lagi dipertanyakan. Semuanya pertanyaan harus masuk ke dalam diskusi yang kritis, reflektif dan rasional yang kemudian dibuka lagi untuk pertanyaan lainnya. Proyek filsafat untuk anak-anak haruslah dilihat sebagai undangan dan kesempatan untuk berpikir bersama (zum gemeinsamen Nachdenken). Ia lahir dari rasa ingin tahu dan berakhir pada rasa ingin tahu yang lebih dalam. Orang tua dan institusi sekolah maupun agama harus menunda semua jawaban pasti, dan membiarkan anak masuk ke dalam proses berpikir bersama yang bersifat terbuka.

Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini masih berpijak pada nilai ujian. Di dalam sistem ini, jawaban atas semua pertanyaan sudah dirumuskan sebelumnya. Anak hanya perlu menghafal dan mengulang jawaban tersebut di dalam kertas ujian yang disediakan. Dari proses ini, kemampuan akademiknya diukur. Namun, sayangnya, proses semacam ini justru membunuh kreativitas berpikir anak. Pertanyaan-pertanyaan asli yang menarik dan merangsang kedalaman berpikir juga dibunuh. Akibatnya, kemampuan berpikir anak menjadi tumpul. Ia mengalami kesulitan untuk merumuskan pertanyaan, berpikir kritis, berpikir mandiri dan berpikir reflektif. Pendidikan di Indonesia pun disempitkan hanya pada semata pemberian pengetahuan. Anak dianggap kertas kosong yang kemudian diisi dengan berbagai macam informasi. Suasana semacam ini ditambah dengan keadaan banjir informasi yang dialami masyarakat sekarang ini, terutama dengan berkembangnya teknologi internet. Orang tak lagi mampu membedakan secara kritis dan rasional, informasi mana yang benar dan informasi yang merupakan gosip belaka. Padahal, tanpa kemampuan berpikir kritis, rasional dan reflektif, orang, terutama anak-anak, gampang sekali terbawa oleh hasutan bohong, dan kemudian dihasut. Kebohongan dan hasutan semacam ini lalu bisa mendorong terjadinya ketegangan dan konflik di masyarakat. Pendidikan yang hanya semata berfokus pada nilai ujian juga akan membunuh rasa tanggung jawab moral yang lahir dari kebebasan pribadi manusia.

Yang ingin dicapai dengan proyek filsafat untuk anak, menurut Zeitler, adalah pembentukan cara berpikir anak. Proyek ini tidak mengajarkan anak, apa yang harus dipikirkan, melainkan metode untuk berpikir, sehingga ia bisa sampai pada kesimpulan yang terbuka, kritis dan masuk akal. Peran orang dewasa tentu sangat besar dalam hal ini. Tugas orang dewasa adalah menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak untuk berfilsafat, guna mengembangkan kemampuan dan kedalaman berpikirnya. Suasana ini harus diciptakan tidak hanya di sekolah, baik sekolah dasar maupun taman kanak-kanak, tetapi juga di dalam keluarga. Orang tua harus bekerja sama sepenuhnya dalam dialog dengan guru di sekolah, maupun dengan orang-orang yang memiliki otoritas untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Yang kedua, minat anak juga harus dipahami sepenuhnya. Seperti disinggung sebelumnya, proyek filsafat untuk anak tidak memberikan obyek untuk berpikir, melainkan metode untuk berpikir. Obyek berpikirnya, dengan demikian, bisa ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak yang suka musik akan mudah untuk diajak berpikir filosofis tentang musik, karena itu langsung terkait dengan minatnya. Oleh karena itu, orang tua dan guru harus menyediakan waktu, kesabaran serta kesadaran untuk mendengar secara sungguh-sungguh minat dan bakat anak.

Proses menarik minat anak untuk berfilsafat amatlah penting. Hanya dengan adanya minat, filsafat bisa menjadi cara berpikir dan bahkan cara hidup anak nantinya. “Ketika anak”, demikian tulis Zeitler, “memiliki perasaan, bahwa pertanyaan-pertanyaanya penting dan dianggap serius, maka budaya untuk berpikir bersama dan keinginan untuk mengajukan pertayaan lebih jauh bisa dikembangkan.”11 Yang perlu diingat adalah, filsafat merupakan upaya bersama untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang ada di dalam hidup manusia. Peran orang tua dan guru tentu juga harus dipikirkan ulang. Dalam hal ini, seperti dinyatakan oleh Zeitler, figur Sokrates sebagai bapak filsafat perlu diperhatikan. Sokrates bukanlah orang yang tahu segalanya. Ia mengajak orang berpikir dan mempertanyakan hal-hal yang mereka anggap sudah pasti. Ia melihat teman diskusinya sebagai orang yang setara, yang sama-sama mencari jawaban. Dalam hal proyek filsafat untuk anak, anak juga harus dilihat sebagai manusia yang setara, yang sama-sama mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Seringkali, anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang amat mendasar di dalam hidup. Misalnya, mengapa orang meninggal? Apakah ada hidup setelah kematian? Mengapa kita harus bekerja? Mengapa kita dilahirkan, dan sebagainya. Pada umumnya, orang dewasa sudah memiliki jawaban-jawaban dangkal atas pertanyaan itu, misalnya mengacu pada tradisi atau agama tertentu. Namun, dalam konteks filsafat, jawaban-jawaban dangkal semacam itu haruslah dihindari. Di dalam berfilsafat, tidak ada jawaban baku yang tak bisa diganggu gugat. Yang perlu dilakukan adalah mencoba mengajukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari berbagai sudut pandang. Hal ini haruslah dilakukan sebagai suatu proses yang berkelanjutan, dan tidak boleh jatuh pada sikap dogmatis yang memberikan kepastian jawaban yang bersikap baku dan mutlak. Dalam hal ini, anak diajak untuk mengalami langsung, bagaimana pengetahuan berkembang (Erkenntnisfortschritt) melalui proses tanya jawab yang bersifat kritis, rasional dan reflektif.

Inti dari proyek filsafat untuk anak-anak adalah mengajak anak terlibat langsung di dalam proses dialog untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ada secara kreatif, rasional, kritis dan reflektif. Hal penting disini adalah kemampuan dari proses dialog tersebut untuk merangsang anak untuk berpikir lebih jauh dan lebih dalam tentang segala pertanyaan-pertanyaan yang ia punya. Oleh karena itu, isi dari proses dialog haruslah sesuatu yang dekat dengan kehidupan anak-anak. Setiap dialog dimulai dari pertanyaan, dan pertanyaan-pertanyaan adalah pintu masuk ke dalam dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Kecenderungan orang dewasa di dalam pendidikan adalah memaksa anak untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitan langsung dengan hidup mereka. Proyek filsafat untuk anak-anak, dengan kata lain, harus dimulai dari pertanyaan anak yang langsung terkait dengan dunia mereka. Ini adalah poin yang amat penting. Proses terlibat di dalam dialog filosofis tentang suatu pertanyaan akan membawa anak pada praksis hidup filosofis. Dalam arti ini, filsafat tidak hanya sekedar menjadi teori untuk menjelaskan dunia, tetapi juga menjadi sebentuk jalan hidup.

Dialog filosofis juga berpijak pada beberapa keadaan, yakni adanya kesempatan yang besar untuk mengajukan pertanyaan (1), menjelaskan suatu ide (2), menjernihkan suatu ide melalui proses dialog (3), memberikan alasan atas suatu pendapat (4) dan mengajukan pertanyaan pada pendapat orang lain (5).

Dua hal yang penting disini, yakni kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan orang lain, serta sikap hormat satu sama lain di antara para peserta dialog.

Inilah yang disebut Zeitler sebagai “budaya dialog filosofis” (philosophische Gesprächkultur). Dengan proses ini, anak dan juga orang dewasa yang terlibat di dalam dialog akan terbiasa untuk memahami dan menanggapi konsep-konsep yang ada secara rasional dan analitis. Mereka juga akan terlatih berpikir dengan berpijak pada rasa hormat dan kemampuan untuk mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, dua dimensi langsung disentuh di dalam dialog semacam ini, yakni kemampuan intelektual dan kepekaan moral. Dengan dua hal ini, anak lalu terlatih untuk membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya dengan berpijak pada akal budi dan moralitas. Secara alamiah, anak memang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ini adalah modal yang besar untuk berfilsafat. Namun, mereka juga terlebih dahulu belajar untuk secara sistematis, kritis dan reflektif mengembangkan serta mengolah rasa ingin tahu mereka. Inilah salah satu peran dari proyek filsafat untuk anak-anak.

Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa tidak semua pertanyaan adalah pertanyaan filosofis yang bisa dibawa ke dalam dialog filosofis. Ada pertanyaan yang bersifat faktual dengan jawaban yang sudah jelas. Ada pertanyaan filosofis yang mengundang orang untuk berpikir lebih jauh dengan jawaban-jawaban yang masih berupa kemungkinan. Pertanyaan filosofis selalu mengundang rasa ingin tahu, baik untuk anak-anak, maupun orang dewasa. Pertanyaan filosofis membutuhkan informasi sebagai dasar, tetapi kemudian bergerak di ranah pendapat. Di ranah pendapat, orang mengalami perbedaan sudut pandang. Namun, setiap sudut pandang harus memiliki pendasaran yang masuk akal, yang bisa dimengerti oleh orang dari sudut pandang yang berbeda, walaupun mereka tidak selalu harus setuju. Prinsip terpenting disini adalah, bahwa setiap pertanyaan harus dihargai dan dianggap sebagai sesuatu yang serius. Ini adalah langkah pertama yang amat penting di dalam dialog filosofis, terutama dengan anak-anak. Dari langkah ini, proses berfilsafat lalu akan mengalir ke tempat-tempat yang tak terduga sebelumnya. Ia akan membuka kemungkinan-kemungkinan sudut pandang yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.


Contoh dari Jerman

Proyek filsafat untuk anak-anak telah lama diterapkan di berbagai sekolah dasar di Jerman.

Di lima negara bagian Jerman, program ini ditawarkan bersamaan dengan pelajaran agama. Bagi mereka yang tidak memiliki agama resmi, mereka bisa mengambil mata pelajaran etika sebagai ganti dari pelajaran agama. Anak-anak yang memiliki agama resmi juga bisa mengambil mata kuliah etika, dan tidak mengambil mata pelajaran agama. Ini sesuai dengan undang-undang dasar Jerman yang menegaskan kebebasan setiap orang untuk memilih mengikuti pelajaran agama, atau tidak. Yang menjadi penekanan adalah pendidikan nilai. Agama pun dilihat disini sebagai bagian dari pendidikan nilai. Beberapa negara bagian di Jerman lainnya melihat proyek filsafat untuk anak-anak sebagai bagian dari seni dan prinsip mengajar. Artinya, ia tidak hanya menjadi satu mata pelajaran tersendiri, melainkan digunakan sebagai metode mengajar juga untuk pelajaran-pelajaran lainnya. Proyek semacam ini ditawarkan dengan berbagai macam variasi di berbagai sekolah dasar di Jerman. Variasinya ditentukan oleh negara bagian masing-masing. Ini telah dilakukan sejak dekade 1970-an sebagai bagian integral dari sistem pendidikan dasar di Jerman.

Di dalam pelajaran etika dan filsafat, anak diajak untuk memahami penerapan konsep keadilan, kebaikan, kejahatan, persahabatan dan hidup bersama.

Konsep-konsep tersebut dianalisis dalam konteks pekerjaan sehari-hari. Anak juga diajak berdiskusi terkait dengan persoalan lingkungan hidup. Dengan demikian, di sekolah-sekolah dasar di Jerman, mata kuliah etika dan filsafat menyentuh setidaknya dua dimensi. Dimensi pertama adalah persoalan-persoalan nilai di dalam hidup, seperti kaitan antara keadilan dan perdamaian. Dimensi kedua adalah persoalan-persoalan epistemologis-antropologis, terkait dengan pengetahuan manusia, siapa itu manusia, dan persoalan jati diri manusia. Dua dimensi ini menjadi tema diskusi sehari-hari, dan kemudian diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan. Materi ajar semacam ini diresmikan dalam bentuk peraturan mengajar yang berlaku di masing-masing negara bagian di Jerman. Ada empat prinsip yang digunakan, yakni merumuskan konsep secara jernih (1), menyampaikan pendapat secara jelas dan sistematik (2), mengajukan pertanyaan secara jelas dan sistematik (3) dan mengajukan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang kreatif, kritis dan rasional (4). Pola semacam ini diambil pemerintah Jerman dari tradisi filsafat yang berkembang di masa Yunani Kuno. Salah satu tema utama dari model pelajaran semacam ini adalah soal kebahagiaan, atau hidup yang bahagia.

Di dalam penerapan di kelas, anak diajak untuk menyadari, bahwa kebahagiaan memiliki beragam arti. Tidak hanya itu, anak juga diajak untuk sadar, bahwa setiap konsep tidak akan pernah memiliki arti yang abadi, melainkan selalu berubah mengikuti keadaan dan kebutuhan masyarakat. Jadi, di dalam model pelajaran semacam ini, anak diajak untuk menyadari, bahwa setiap ide memiliki arti setidaknya dari dua sumber. Yang pertama adalah arti logis dan semantik dari kata yang digunakan. Yang kedua adalah arti dari konteks, bagaimana kata itu digunakan. Dua sumber ini harus sungguh diperhatikan, jika orang hendak memahami atau menggunakan suatu konsep tertentu. Contoh yang sering digunakan di dalam penerapan program filsafat untuk di Jerman adalah konsep kebahagiaan. Arti logis dan semantik dari sebuah kata lahir dari sejarah kata itu. Maka, sedikit pengetahuan soal akar kata dan makna sebenarnya juga diperlukan di dalam melakukan diskusi filosofis. Namun, arti logis dan semantik sebuah kata tersebut juga harus dibandingkan dengan penggunaan kata tersebut di dalam hidup sehari-hari. Misalnya kata kebahagiaan yang seringkali mengacu ada keadaan batin yang terpuaskan, ketika orang menjalani hidup yang bermakna. Memahami arti sebuah konsep dalam konteks berarti memahami penggunaan konsep itu dalam irisan dengan penggunaan konsep-konsep lainnya. Dalam arti ini, misalnya, kebahagiaan seringkali digunakan dekat dengan kata kepenuhan hidup. Maka, arti dari kata kebahagiaan juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konsep kepenuhan hidup. Ini adalah salah satu contoh pola diskusi filosofis yang banyak dilakukan di berbagai sekolah dasar di Jerman.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pendasaran atas argumen adalah salah satu bagian terpenting di dalam filsafat. Setiap argumen harus dapat dijelaskan secara rasional, sekaligus juga cukup terbuka untuk ditanggapi oleh orang lain. Tanpa penjelasan, sebuah pernyataan tidak bisa disebut argumen, maka ia juga tidak bisa menjadi bagian di dalam diskusi filosofis. Di dalam proyek filsafat untuk anak diajarkan juga kemampuan untuk memberikan pendasaran pada setiap pernyataan yang diajukan. Dalam konteks ini, anak diajarkan untuk membedakan dua macam pendasaran. Pendasaran pertama adalah pendasaran empiris, yakni pendasaran yang berpijak langsung pada pengalaman manusia. Misalnya, saya tidak mau makan makanan pedas, karena saya sedang sakit perut. Sakit perut adalah pengalaman manusia, dan ini menjadi dasar untuk suatu tindakan, yakni tidak makan makanan pedas. Diskusi bisa dilanjutkan, misalnya, dengan menanyakan, sakit perut macam apa yang diderita, dan makanan pedas macam apa yang dimaksudkan. Pendasaran kedua adalah pendasaran abstrak, yakni mendasarkan suatu argumen dengan argumen lainnya yang terhubung secara logis. Misalnya, kejahatan itu lahir, ketika kebaikan tidak ada, karena kejahatan tidak memiliki hakekat pada dirinya sendiri. Pendapat ini tentu harus dijelaskan dengan pendasaran tertentu yang rasional, kritis dan sistematik. Namun, pendapat ini juga tidak mutlak, melainkan selalu terbuka untuk pertanyaan dan ketidaksetujuan. Pendasaran yang bersifat abstrak harus memiliki penjelasan logis yang kokoh sebagai dasarnya.

Metode yang digunakan di dalam program ini adalah metode dialog Sokratik. Sebagai orang yang dikenal sebagai bapak dari filsafat Barat, Sokrates tidak pernah meninggalkan satu karya tulis pun. Namun, Plato, muridnya, menjadikan Sokrates sebagai tokoh utama di dalam buku-buku yang ditulisnya. Gaya berfilsafat Sokrates amatlah unik. Ia berjalan-jalan di pasar, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada orang-orang yang ada disana. Ia mengajak orang berpikir ulang tentang segala keyakinan yang mereka pegang di dalam hidup mereka. Ia tidak memberikan jawaban langsung, melainkan mengajak orang untuk menemukan jawaban mereka sendiri. Yang dilakukan Sokrates adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai pemandu untuk menemukan jawaban-jawaban baru. Dalam arti ini, Sokrates berperan sebagai seorang bidan yang membantu orang untuk melahirkan idenya sendiri. Pola semacam ini dikenal juga sebagai pola bidan, atau metode bidan. Tema-tema mendasar kehidupan, seperti soal keadilan, kebahagiaan, Tuhan dan moralitas, juga menjadi bagian dari metode bidan ini. Pola semacam inilah yang diterapkan di dalam proyek filsafat untuk anak di berbagai sekolah dasar di Jerman. Biasanya, tema-tema tersebut akan dikaitkan dengan suatu cerita yang lalu akan menciptakan banyak pertanyaan dari anak-anak untuk didiskusikan.

Di dalam praktiknya di Jerman, metode Sokrates diterapkan dengan satu tujuan dasar, yakni mengajarkan anak untuk berpikir mandiri. “Ketika anak-anak di sekolah dasar berfilsafat,” demikian tulis Brüning, “ia harus mengembangkan idenya sendiri tentang pertanyaan-pertanyaan filosofis. Ini dibantu dengan guru melalui pertanyaan, penjelasan dan pendasaran dari argumen-argumen yang diberikan.”

Guru hanya menjadi semacam teman untuk mencari jawaban bagi anak. Pada akhirnya, anak sendiri yang akan berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. Yang juga perlu diperhatkan disini adalah, bahwa metode Sokrates tidak akan berujung pada satu jawaban saja, melainkan beberapa jawaban dari pertanyaan yang sama. Jawaban-jawaban itu pun bukan sesuatu yang pasti, melainkan selalu terbuka untuk pertanyaan dan kritik lebih jauh. Sebabnya adalah, bahwa setiap orang melihat dunia dengan kaca mata yang berbeda-beda, dan akan menghasilkan sudut pandang yang berbeda-beda pula. Anak pun lalu diajarkan untuk terbiasa dengan perbedaan sudut pandang semacam ini. Pola semacam ini akan sangat berguna bagi anak, supaya bisa bisa hidup dengan damai di dalam masyarakat multikultur. Maka, di dalam metode Sokratik, anak belajar tidak hanya untuk berpikir dan berpendapat secara kritis, rasional, sistematis dan reflektif, tetapi juga belajar untuk hidup. Inilah pola mengajar di dalam program filsafat untuk anak di berbagai sekolah dasar di Jerman.

Program filsafat untuk anak di Jerman juga mendorong anak untuk berpikir kreatif. Semua bentuk pengetahuan dan informasi yang ada tidak dijadikan sebagai kepastian mutlak, melainkan sebagai sarana untuk menemukan cara-cara baru di dalam berpikir dan bertindak. Inilah yang disebut sebagai eksperimen berpikir (Gedankenexperiment). Yang menjadi tujuan disini bukanlah kepastian pendapat, melainkan kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Roh pencarian kemungkinan semacam inilah yang menjadi pemandu seluruh program filsafat untuk anak di Jerman ini. Di dalam proses ini, imajinasi lebih penting dari data dan fakta. Fantasi juga dilihat lebih bermakna daripada sikap tunduk pada keadaan. Semuanya dibiarkan bebas mengalir, namun dipandu dengan sikap kritis, reflektif, rasional dan sistematik yang menjadi ciri khas filsafat barat. Bahayanya adalah, beberapa anak yang lebih aktif akan mendominasi seluruh proses ini. Sementara, beberapa anak lainnya, yang mungkin lebih pemalu, dan tidak banyak memberikan tanggapan atas proses yang terjadi. Keadaan ini ditanggapi dengan memberikan kesempatan bagi semua anak secara bergiliran mengajukan pemikiran mereka. Setiap anak diminta untuk menyampaikan ide mereka dalam tiga kalimat, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak boleh ada pendapat yang diulang. Setiap pendapat adalah tanggapan atas pendapat sebelumnya. Disini dilatih setidaknya dua hal, yakni kemampuan mendengarkan dan kemampuan menanggapi dengan berpijak pada pandangan orang lain, tanpa mengulang hal yang sama.

Program filsafat untuk anak telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan dasar di beberapa negara bagian di Jerman. Program ini juga diterapkan di luar program resmi sekolah, seperti di dalam pengembangan bakat dan persiapan untuk belajar di universitas. Guru-guru untuk program ini juga dilatih untuk berpikir secara filosofis di berbagai universitas di Jerman.

Di negara bagian Bavaria, program filsafat untuk anak dimasukan ke dalam pelajaran Etika. Ia meliputi diskusi mengenai tema persahabatan, kebahagiaan, pekerjaan, karir, keluarga dan agama. Di negara bagian Mecklenburg-Vorpommern, program ini disebut sebagai “Berfilsafat bersama dengan Anak-anak” (Philosophieren mit Kindern). Yang menjadi tema utama adalah empat tema besar, yakni alam, proses belajar, identitas, dan media. Di negara bagian Rheinland-Pflaz, program ini bernama “Pendidikan Etika” (Ethikunterricht). Fokus utamanya adalah dinamika hidup bersama, persahabatan, kebahagiaan, kematian, keluarga dan identitas. Di negara bagian Sachsen, program ini menjadi bagian dari mata pelajaran etika. Fokus diskusinya adalah dinamika hidup bersama, keluarga, kematian, waktu, dan proses terbentuknya bumi. Di Sachsen-Anhalt, filsafat disebut sebagai “Pendidikan Etika” yang berfokus pada dinamika hidup bersama, agama-agama dunia, waktu, persahabatan dan kebahagiaan. Di negara bagian Thüringen, filsafat menjadi bagian dari etika yang meliputi diskusi mengenai dinamika hidup bersama, persahabatan, agama-agama dunia dan kebahagiaan.


Untuk Indonesia

Guna melihat kemungkinan penerapan program filsafat untuk anak di Indonesia, kita setidaknya harus memahami terlebih dahulu keadaan pendidikan Indonesia sekarang ini. Dunia pendidikan Indonesia saat ini dijangkiti oleh dua bentuk dogmatisme. Dalam arti ini, dogmatisme adalah pandangan yang melihat satu nilai tertentu sebagai nilai mutlak yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Siapapun yang tidak mengikuti nilai ini pantas unutk mendapat hukuman. Bentuk dogmatisme pertama adalah dogmatisme nilai akademik. Nilai akademik menjadi tolok ukur seluruh proses pendidikan. Anak yang mendapat nilai jelek akan mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Ia juga akan dicap sebagai pemalas dan bodoh. Ini akan mempengaruhi kepercayaan diri sekaligus kesehatan mentalnya sebagai manusia.

Bentuk dogmatisme kedua adalah dogmatisme agama. Ajaran-ajaran agama tertentu diselipkan di dalam berbagai mata pelajaran sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Segala bentuk pertanyaan dan sikap kritis dianggap sebagai musuh agama, maka harus dihilangkan. Anak dipaksa untuk menghafal segala yang ada dibuku dan yang diucapkan guru, lalu diminta untuk memuntahkannya kembali di dalam ujian. Pikiran kritis dan kreatif pun tidak berkembang, namun justru mati di dalam proses pendidikan. Dogmatisme nilai akademik dan dogmatisme agama ini menyebar begitu luas sekaligus tertanam begitu dalam di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dogmatisme di tingkat cara berpikir dan korupsi di tingkat sistem politik pendidikan Indonesia membuatnya tidak mampu membentuk sumber daya manusia yang bermutu.

Dua bentuk dogmatisme di atas menghasilkan manusia-manusia patuh. Mereka tidak terbiasa untuk berpikir mandiri. Mereka hanya terbiasa untuk mengikuti perintah dan kebiasaan yang ada, tanpa sikap kritis. Tak heran, mereka mudah sekali terpengaruh oleh budaya terorisme yang menggunakan agama sebagai topengnya. Mereka juga miskin kreativitas. Akibatnya, mereka hanya menjadi konsumen pasif yang suka membeli barang, namun tak pernah ada pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru. Inilah yang disebut juga sebagai budaya konformis. Orang hanya mengikuti apa yang ada, tanpa pernah mempertanyakan apa yang ia dengar dan lihat secara kritis. Musuh dari budaya dogmatis dan konformis semacam ini adalah filsafat, yakni filsafat yang tidak terjebak menjadi pembenaran bagi ajaran-ajaran tertentu.

Program filsafat untuk anak hendak memperkenalkan filsafat pada anak-anak di tingkat sekolah dasar. Program ini telah diterapkan di berbagai negara Eropa. Saya berpendapat, bahwa program ini juga cocok diterapkan di Indonesia, terutama untuk memerangi segala bentuk dogmatisme dan konformitas yang kini menyebar begitu luas dan tertanam begitu dalam di dalam pola hidup orang Indonesia. Ada sembilan hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, jika diterapkan sejalan dengan semangat revolusionernya, filsafat bisa mengajarkan orang keterampilan hidup yang amat penting, yakni kemampuan menganalisis dan menyelesaikan masalah melalui proses berpikir yang rasional, kritis, reflektif dan sistematik. Pendek kata, filsafat bisa menjadi alat untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Orang perlu untuk belajar tentang hal ini sejak ia kecil, sehingga ia terbiasa untuk memecahkan berbagai persoalan yang ia hadapi dengan tepat.

Kedua, filsafat juga menjadi alat untuk melakukan pendidikan nilai di Indonesia. Perlu ditekankan, bahwa nilai disini bukan berarti nilai agama atau tradisi tertentu. Filsafat tidak boleh hanya menjadi alat penyebaran ajaran agama atau tradisi tertentu. Pendidikan nilai di dalam filsafat berarti berusaha melampaui nilai baik dan buruk yang ada di dalam agama ataupun tradisi. Melampaui disini berarti mengajukan pertanyaan dan penalaran kritis atas nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya. Dengan pertanyaan dan penalaran kritis, dogmatisme nilai, baik dalam bentuk dogmatisme nilai akademik maupun dogmatisme agama, bisa dilampaui. Ini adalah hal yang amat penting untuk Indonesia sekarang ini. Di sisi lain, pendidikan nilai di dalam filsafat juga bisa mencegah orang masuk ke dalam relativisme. Orang diajak untuk memiliki prinsip hidup, tanpa menjadikan prinsip hidup itu sebagai pegangan mutlak yang tak bisa dan tak boleh diubah.

Ketiga, filsafat juga bisa menjadi sarana untuk mengembangkan keterbukaan berpikir di Indonesia. Keterbukaan berpikir adalah suatu keutamaan yang tidak datang dari teori ataupun khotbah-khotbah moral, melainkan dari kebiasaan. Kebiasaan hanya bisa terbentuk, jika orang sering melakukannya. Filsafat bisa membentuk keterbukaan berpikir, jika ia dilakukan secara rutin dan sejak usia dini. Program filsafat untuk di Indonesia bisa mendorong terciptanya sikap keterbukaan berpikir bagi anak-anak Indonesia. Keempat, di sisi lain, dengan keterbukaan berpikir serta sikap yang tidak dogmatis, filsafat juga bisa melatih orang untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal dalam hidupnya. Sejak tingkat sekolah dasar, anak diajak untuk memberikan alasan dan pendasaran bagi pernyataan maupun tindakannya. Dengan latihan semacam ini, anak akan terbiasa untuk berpikir secara rasional terlebih dahulu, sebelum ia melakukan sesuatu. Pola semacam jelas amat dibutuhkan di Indonesia.

Lima, Indonesia adalah bangsa yang multikultur. Ada begitu banyak cara hidup yang berkembang di dalamnya. Ini merupakan fakta sejarah yang selalu menempel di dalam identitas bangsa Indonesia. Kemampuan untuk berpikir terbuka jelas amat diperlukan, supaya hidup bersama bisa berjalan dengan baik. Filsafat dapat mendorong proses pendidikan nilai-nilai kehidupan yang menunjang perdamaian di dalam masyarakat multikultur, seperti Indonesia. 

Enam, sikap kritis dan rasional yang menjadi ciri utama filsafat bisa menjadi alat penangkal dari berkembangnya budaya konsumtivisme. Konsumtivisme adalah paham yang menyatakan, bahwa tujuan utama dari semua tindakan manusia adalah meningkatkan kemampuannya untuk membeli barang-barang yang ada. Barang-barang tersebut tidak hanya menentukan status sosialnya di masyarakat, tetapi juga citra diri pribadinya sebagai manusia. Konsumtivisme jelas merupakan pandangan yang salah, karena dia menyingkirkan semua nilai-nilai lainnya yang penting bagi hidup manusia. Namun, sayangnya, pandangan ini telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Filsafat dengan daya kritis dan rasionalnya bisa menjadi tanggapan kritis atas gaya hidup konsumtiv semacam ini.

Tujuh, indonesia adalah negara demokratis. Di dalam masyarakat demokratis, setiap keputusan dibangun di atas dialog dan kesepakatan bersama. Filsafat mengajarkan orang untuk mampu berpikir, berdialog, berpendapat dan mencapai kesepakatan secara bersama. Program filsafat untuk anak membentuk kemampuan ini sejak usia dini, sehingga bisa menjadi bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari.

Delapan, untuk membuat keputusan yang tepat, orang membutuhkan informasi yang tepat. Orang juga harus mampu menganalisis berbagai informasi tersebut secara kritis dan rasional. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat, Indonesia kini mengalami banjir informasi. Orang pun kesulitan membedakan antara informasi yang tepat dan gosip ataupun fitnah. Filsafat bisa membantu orang untuk bersikap kritis terhadap segala informasi yang ada, supaya ia tidak terjebak pada gosip ataupun fitnah, ketika hendak membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Pendidikan filsafat untuk anak bisa mengembangkan kemampuan berpikir kritis ini sejak usia dini, sehingga anak tidak terjebak pada informasi yang salah. Ini jelas amat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Informasi tanpa sikap kritis dan rasional untuk mengolahnya justru akan menciptakan kesalahpahaman dan masalah-masalah lainnya bagi hidup manusia.

Sembilan, inti dari program filsafat untuk anak yang sudah diterapkan di berbagai negara Eropa adalah metode Sokrates. Inti dari metode ini adalah dukungan kepada anak untuk berpikir mandiri dan menemukan jawabannya sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang ia miliki. Banyak sekali keutamaan yang muncul di dalam metode ini, mulai dari kreativitas berpikir sampai kemampuan untuk mendengarkan orang lain. Sistem pendidikan di Indonesia akan bisa berkembang pesat, jika menggunakan metode Sokrates semacam ini. Filsafat, dalam arti ini, tidak boleh hanya menjadi satu mata pelajaran resmi, atau mata pelajaran tambahan semata. Ia juga perlu menjadi paradigma pendidikan yang menjelma di dalam berbagai mata pelajaran yang ada, dan juga di dalam hubungan antara murid dan guru. Pendek kata, filsafat, dengan metode Sokratesnya, perlu menjadi roh dari sistem pendidikan di Indonesia. Program filsafat untuk anak tidak hanya merupakan satu model pendidikan, melainkan juga inti dari pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan di Indonesia akan berkembang pesat, jika menerapkan program ini secara tepat.


Beberapa Catatan

Ada empat catatan kritis yang bisa diberikan untuk program filsafat untuk anak. 

Yang pertama adalah bahaya dari birokratisasi filsafat. 

Filsafat, pada hakekatnya, adalah pemikiran bebas. Ia mengandalkan spontanitas dan keberanian untuk mengubah pandangan-pandangan lama yang kita pegang. Ketika filsafat dijadikan bagian dari sistem dan masuk ke dalam birokrasi, ada bahaya, bahwa filsafat akan kehilangan ciri spontan, kebebasan dan keberaniannya. Filsafat justru akan menjadi pelayan sistem dan pembenaran bagi kekuasaan yang ada. Sejarah sudah membuktikan, bahwa bahaya semacam ini amat mungkin terjadi. Ketika filsafat masuk ke dalam sistem pendidikan, ia hanya akan berubah menjadi mata pelajaran belaka yang harus dihafal dan diuji, serta kehilangan daya kritisnya. Sistem dan birokrasi bisa melenyapkan roh kritis dan semangat perubahan yang sudah selalu tertanam di dalam filsafat itu sendiri.

Yang kedua adalah pengandaian yang terlalu tinggi tentang seorang guru dari program filsafat untuk anak. 

Seperti dijelaskan sebelumnya, program ini membutuhkan pengajar yang khusus. Ia tidak hanya memberikan pengetahuan kepada anak, tetapi juga bisa membantu anak untuk berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. Berapa banyak guru yang bisa melakukan ini? 

Inti dari filsafat untuk anak adalah menjalankan metode Sokrates di dalam dialog filosofis dengan anak. Adakah guru yang bisa menjalankan metode Sokrates tersebut secara tepat? Jika program filsafat untuk anak dijalankan, namun mentalitas gurunya masih tradisional, yakni hanya memberikan pengetahuan dan bersikap otoriter, maka seluruh program ini akan menjadi tidak berguna. Ia hanya akan menjadi mata pelajaran biasa yang membebani anak dengan hal-hal yang tak berguna, namun harus dihafal, sekedar untuk lulus ujian.

Yang ketiga adalah pertimbangan mengenai jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada anak pada tingkat sekolah dasar. Seperti kita semua tahu, jumlah mata pelajaran yang diberikan pada tingkat ini sudah sangat banyak. Begitu banyak hal harus dipelajari, lalu diuji, guna mendapatkan nilai akademik. Apakah bijaksana, jika filsafat diberikan sebagai mata pelajaran mandiri untuk anak, terutama mengingat begitu banyaknya hal yang sudah harus dipelajari? Bukankah ini akan membuat anak kelelahan, dan akhirnya tidak lagi mampu untuk menikmati proses belajar? Bukankah ini akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya? Dan bukankah materi yang terlalu banyak justru membuat orang tidak belajar apapun? Oleh karena itu, penerapan program filsafat untuk anak harus memperhatikan setidaknya dua prinsip, yakni sederhana dan menyenangkan. Jika program filsafat untuk anak ini sederhana dan menyenangkan, maka ia akan bisa mewujudkan tujuannya menjadi kenyataan. Ia tidak akan menjadi beban untuk anak ataupun para guru yang menjalankannya.

Yang keempat adalah persoalan kultur. Dalam arti ini, kultur dipahami sebagai cara hidup yang bersifat unik pada satu ruang dan waktu tertentu. Filsafat mengandaikan kebebasan, sikap kritis dan kreativitas di dalam berpikir, mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban. Dasar dari semua sikap ini adalah keberanian untuk menantang pandangan-pandangan lama yang mungkin telah ratusan tahun mengakar di dalam suatu masyarakat. Pertanyaannya di titik ini adalah, apakah kultur Indonesia cocok dengan pola berpikir filsafat? Jawaban ya dan tidak dalam konteks ini tampak menyederhanakan masalah. Di satu sisi, kultur harmoni yang kental berkembang di Asia juga memiliki pengaruh besar di Indonesia. Kultur semacam ini akan sulit untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran filosofis yang kritis. Di sisi lain, filsafat juga bukanlah barang asing bagi orang Indonesia. Kultur berdiskusi untuk menemukan jawaban atas suatu masalah sudah selalu merupakan bagian dari cara hidup orang Indonesia. Pola semacam ini adalah tempat yang subur untuk pemikiran-pemikiran filosofis yang kritis. Tegangan antara kultur setempat dengan pola berpikir filosofis yang berkembang di Eropa dan Amerika ini perlu untuk terus ditanggapi secara kritis.


Kesimpulan

Pendidikan di Indonesia jelas perlu untuk dikembangkan terus menerus. Program filsafat untuk anak adalah salah satu usaha yang perlu dilakukan, guna mewujudkan tujuan tersebut. Program ini amatlah penting, karena filsafat tidak hanya memberikan pengetahuan baru, tetapi juga mengajak orang untuk berpikir tentang hidupnya secara lebih mendalam. 

Pendek kata, filsafat adalah bagian penting dari pendidikan hidup (Lebensbildung) setiap orang. Dengan kemampuan bernalar kritis serta reflektif, filsafat membentuk cara berpikir, dan mengajarkan orang untuk membuat keputusan dengan berpijak pada pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Hal ini tentu amat dibutuhkan oleh setiap orang. Namun, kemampuan ini tidak datang begitu saja, melainkan harus dilatih secara berulang-ulang di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, idealnya, kemampuan ini harus dilatih secara usia dini. Disinilah arti terpenting dari program filsafat untuk anak untuk konteks Indonesia. Peran guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat luas juga amatlah besar, yakni sebagai “fasilitator filosofis”, guna membantu anak berpikir secara mandiri dan kritis. Pada tingkat yang lebih luas, program filsafat untuk anak juga bisa berperan amat besar untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia. Ini amatlah penting untuk menunjang kemajuan bangsa. Namun, program filsafat tidak boleh jatuh pada birokratisasi yang justru membunuh roh kritis dari filsafat itu sendiri. Ia juga harus memberikan ruang yang memadai untuk berdialog dengan kultur setempat yang sebelumnya sudah ada di Indonesia ✍️